Malam yang dingin. Hampa juga
pastinya. Seolah aku hidup dalam ruang hampa tanpa satu sosok pun manusia lain
menemani malam panjangku ini. Angin malam sepertinya sanggup menemaniku dengan
hembusannya yang sepoi-sepoi hingga menembus ventilasi kamarku. Sesekali ia
menerbangkan gorden jendela yang sengaja kubiarkan terbuka salah satunya.
Kupandangi jam dinding yang kurasa
telah menyatu dengan dinding bercat biru kamarku. Pukul 18:35. Hufft!!
Membosankan sekali meringkuk di kamar seperti ini. Terlebih, tanpa aktivitas
yang harus kukerjakan. Lebih tepatnya, ingin kukerjakan. Yahh, sebenarnya bisa
saja malam ini aku mengerjakan beberapa tugas yang teronggok di atas meja
belajarku atau melampiaskan kesepianku ini dengan berfacebook ria. Namun, semua
itu tak sedikit pun ingin kulakukan. Kurasa, lebih baik meringkuk di sudut
kasur bertemankan selimut tebal dan guling empuk yang usianya hampir
setengahnya usiaku. Kau tahu? Ini guling tersayangku sejak aku berumur 7 tahun.
Walaupun sudah sangat kucel, aku tetap tak ingin mengganti guling ini dengan
yang baru.
Entah kenapa, ia begitu berarti
bagiku. Mungkin, karena setiap aku kehilangan pegangan, aku selalu mendekapnya,
membenamkan wajahku padanya, dan menangis bersamanya. Ia menjadi saksi bisu tentang
segala perjalanan hidupku selama ini. Termasuk, hubunganku yang akhir-akhir ini
putus-nyambung putus-nymbung dengan pacarku, Alby. Tiba-tiba aku merasa sangat
merindukannya.
Terakhir kali, dia memintaku untuk
kembali padanya. Aku mengiyakan permintaan itu. Namun, beberapa hari setelah
itu, aku jarang kontak dengannya. Apalagi jalan. Memang kelihatannya aneh. Aku
pun merasa aneh juga. Tak ubahnya seperti orang yang tak memiliki pendamping
hati. Tapi tak apalah, tak begitu menjadi masalah bagiku.
Tok tok tok.. pintu kamarku terketuk. Entah siapa itu.
“Masuk!!” kataku dengan sedikit berteriak
Cklekk.. pintu terbuka. Zizi, adik terkecilku nongol.
“Kak, dicari temennya tuh!!” ujarnya dari dekat pintu. Seketika,
aku tergagap. Siapa? Pikirku.
“Siapa za?” tanyaku,
“Ya nggak tahulah kak!” Zizi bersiap-siap mau keluar.
“Eh, cewek apa cowok?”
“Cewek”
Hufft!! Aku mendengus, aku sedikit
berharap Alby yang datang di malam minggu ini. Jadi teringat kata-katanya dulu,
“Ketika kamu merindukanku, saat itu juga aku merindukanmu” malam ini, aku
sangat merindukannya, apa dia merindukanku juga ya? Tanyaku pada diriku
sendiri. Kemudian aku bergegas menemui entah siapa. Yang pasti dia cewek.
Seperti kata Zizi tadi.
“Haii.. ternyata kamu fa, kirain siapa” ujarku begitu menemukan
sesosok cewek berperawakan tinggi besar bersandar pada sofa di ruang tamuku.
“Haii juga.. malam minggu ini nggak ada kencan kan fa” Tanya ufa,
teman satu kelasku yang rumahnya tak jauh dari rumahku
“Nggak sih, memang kenapa?”
“Keluar yuk” ajaknya
“Hah? Kemana? Siip.. mau mau mau.. bentar yaa.. ganti dulu lah, ayo
ke kamarku aja”
Aku langsung beranjak masuk kamar
dan memilih beberapa baju yang layak ku kenakan malam ini. Akhirnya, aku
memilih celana pensil abu-abu dan baju joger biru oleh-oleh ibuku dari bali.
Sebagai pelengkap, kukenakan tas ransel model serut gambar doraemon, kartun
kesayanganku dan sepatu putih bermotif garis-garis horizontal. Sepertinya, aku
siap untuk acara malam minggu ini. Walaupun tidak bersama pacarku, setidaknya malam
minggu ini tak menjadi malam minggu yang kelam bagiku.
“Aku siap.. aku siap..” kataku sembari menenteng sepatu dan tas.
Menirukan gaya bicara spongebob squarepants, si kuning yang tak pernah sial.
Karenanya, Ufa tertawa melihat gayaku bicara.
“Kebiasaan kau zil..” katanya masih dengan sedikit tawanya.
“Hehe, ya sudah yuk, buruan kita lets go!! Eh, tapi kita mau kemna
nih?” tanyaku sembari memakai sepatu tanpa kaos kaki.
“Oke, ke alkid, gimana?” tawarnya sembari kita berjalan ke ruang
depan.
“Hm.. boleh juga, lama aku nggak main kesitu”
Setelah aku berpamitan dengan ibuku
yang sedang berada di ruang kerjanya (maklum, wanita karir harus memiliki ruang
kerja sendiri). Kita bergegas pergi. Mengendarai motor matic milik Ufa.
Sebenarnya aku pun memiliki motor sendiri, tapi sepertinya lebih seru jika
berboncengan saja dengan Ufa.
Jalanan menuju ke alkid alias
alun-alun kidul, lumayan padat. Wajarlah jika malam-malam jalanan di kota ini
macet, terlebih malam minggu seperti ini. Apalagi siangnya. Tak akan lagi
ditemukan udara tanpa polusi disini. Tapi tidak di semua tempat. Di kotanya
saja, dan di jalan-jalan besarnya saja. Selebihnya, kurasa masih segar-segar
saja udaranya. Walaupun tak sesegar di pedesaan pastinya.
Setelah memarkir motornya di tepian
jalan sekeliling alkid, aku dan Ufa mulai berkeliling ria, melihat di
sekeliling kita yang kebanyakan adalah dua sejoli yang sedang memadu kasih
dengan para pendampingnya. Kita pun juga dua sejoli, tapi jangan salah kira,
kita bukan pasangan kekasih. Gila saja jika itu terjadi.
Sepertinya alkid memang pilihan
paling tepat untuk berpadu kasih. Jadi tak ayal lagi jika tempat ini banyak
dipadati oleh mereke mereka yang membutuhkan tempat untuk berduaan. Aku jadi
ingin mengajak Alby kesini lagi kapan-kapan. Terakhir kali aku pergi bersamanya
di depan monument SO 1 maret. Itupun sepertinya sudah bulan kemarin.
Akhirnya, kusadari telah lama waktu
terbuang tanpa dia di sisiku. Rindu yang tadi tercipta, kini hadir kembali,
semakin rindu rasanya. Aku menghela napas tuk menghalau rasa rindu itu dan
kembali menikmati malam ini bersama Ufa.
“Zil, Anzil, naik itu yuk, pengen deh..” Ufa mengajakku menaiki
sepeda yang berhiaskan lampu-lampu kecil berwarna-warni yang banyak ditemui
disana.
Itulah kelebihan alkid dibandingkan
altar atau aluln-alun utara. Adanya sepeda hias dan beberapa kendaraan dengan
bentuk-bentuk menarik seprti kartun-kartun atau hewan-hewan banyak menarik
wisatawan asing maupun lokal. Sehingga menambah keramaian di tempat ini. Bahkan,
tak jarang pula kutemui satu keluarga lengkap sedang mengendarai kendaraan seperti
itu mengelilingi alkid.
“Hm.. boleh boleh.. tapi kamu lho yang di depan..” usulku
“Oke oke.. kamu tuh yaa.. maunya enak-enak aja” gerutu Ufa,
kemudian kita ketawa. Sebenarnya nggak begitu lucu, tapi entah kenapa kita
sering aja ketawa tanpa sebab. Aneh.
Kita bergegas menuju tempat
peminjaman sepeda hias itu. Meminjam sepeda yang tak begitu tinggi. Tahu
sendirilah, aku bukan termasuk cewek berbody bagus. Tinggiku tak lebih dari 150
cm. Menyedihkan ya. Tapi ku syukuri saja, jadi fine-fine saja lah dengan
keadaan seperti ini, toh, jika di syukuri, semua akan baik-baik saja.
“Yiihaaa..” aku sedikit berteriak kegirangan berada di belakang Ufa
yang menjadi sopir. Aku merasa senang sekali mengelilingi alun-alun dengan
sepeda hias ini.
Empat putaran telah terlewati, selesai sudah aku berkeliling dengan
sepeda ini. Hanya empat putaran saja, aku sudah kelelahan. Begitu turun dari
sepeda, aku dan Ufa kembali ke alkid. Duduk di rerumputan untuk melepas lelah.
“Capek juga ya” celetukku
“Iya.. tapi masih mendingan kamu zil, aku lebih capek lagi nih.”
Ufa protes,
“Hehe.. iya ya.. bagus.. bagus.. haha”
“Ih, malah ketawa.. seneng ya melihatku menderita.. haha” ketawa
lagi. kurasa malam itu kita banyak tertawa.
“Ya sudah, sebagai gantinya, aku traktir kamu wedhang ronde deh”
“Oke oke.. aku nggak nolak rejeki kok, tumben banget ya kamu baik
hati begini”
“Baru tau ya, kemana aja kemarin-kemarin? Tiap hari aku baik hati,
tidak sombong, rajin menabung kalii”
“Sudah sudah, mules perutku mendengar pengakuanmu tadi”
“Huh! Dasar! Awas kau yaa.. ” aku tertawa, beranjak dari rumput
untuk memesan wedhang rode yang ada di tepian alun-alun ini.
“Pak, dua ya, dianter kesana” aku menunjuk tempat dimana Ufa duduk.
“Oh, iya mbak”
Degh!!
Aku menarik nafas sedalam-dalamnya.
Agak jauh dari penjual wedhang ronde ini, aku melihat dua sejoli yang sedang
menikmati wedhang ronde juga. Sebenarnya wajar-wajar saja ada dua sejoli di
tempat ini. Tapi, menjadi tak wajar jika yang berada disana itu dia dan entah
dengan siapa itu. Dia itu…. ALBY!!
Aaaarrrrrrggggghhhh!!!!!!!
Aku berterak dalam hati sembari
mengumpat. Sakit!! Sakit sekali rasanya. Dia.. dia menghianatiku! Argh!
Kemudian aku kembali menuju tempatku
semula. Sebenarnya saat itu juga aku ingin menghampiri dua orang penghianat itu
lalu mendampratnya saat itu juga. Tapi kurasa, ini tindakan konyol. Terlebih di
tempat umum seperti ini. Akhirnya, dengan berjalan lunglai, kuhampiri Ufa,
kemudian aku langsung merangkulnya, dia kebingungan sepertinya lalu balas
mendekapku dan mengelus punggungku. Aku menangis sejadi-jadinya di bahu Ufa. Sepertinya
dia mampu mengerti aku, jadi dia hanya terdiam membiarkanku larut dalam
kesedihanku saja. Dia menungguku hingga tangisku berhenti. Kemudian, kulepaskan
pelukanku tadi. Aku masih menangis sesegukan. Tapi setidaknya lebih mendingan
setelah aku menumpahkan tangisku pada bahu Ufa hingga terlihat basah seperti
itu.
“Sorry ya fa..” kataku lirih dengan suara sedikit serak
“Nggak apa-apa, kamu mau cerita tidak?” aku masih terdiam “aku
nggak maksa kamu cerita kok zil, tapi kurasa, kamu bisa lebih sedikit mendingan
jika kamu menceritakannya padaku. Aku mau mendengarkan ceritamu kok”
“Fa.. Alby..” kataku lirih. Rasanya aku tak berdaya saat ini,
hingga untuk menceritakannya saja pada Ufa, aku tak memiliki daya.
“Alby? Kenapa dengan Alby?”
“Dia ada disana” aku menunjuk satu titik tak jauh di depanku
“Lho.. bagus kan, kenapa tidak kamu hampiri dia?”
“Sepertinya dia telah menemukan penggantiku” kataku dengan nada
pasrah
“Hah?!! Yang benar? Mana dia?? Mana?!” Ufa terlihat emosi
Aku menghela nafas, “ya sudahlah, aku ingin mundur saja, mungkin
dia memang bukan jodohku fa ” Ufa bingung dengan keputusanku “aku ingin
mengakhirinya sekarang saja fa, aku tak ingin lebih terluka dari ini, kamu mau
kan mengantarkanku kesana?” Ufa mengangguk lalu kita beranjak berdiri bersamaan
dengan datangnya pesanan wedhang rondeku.
“Maaf bapak, dibawa ke
tempat sana saja, sebentar lagi kita kesana” Ufa menunjuk tempat yang
sebenarnya telah disediakan oleh penjual wedhang ronde itu. Setelah bapak
penjual itu berlalu, aku dan Ufa menghampiri tempat dimana Alby bersama
selingkuhannya duduk.
“Maaf mbak, boleh minjem pacarnya? Ini teman saya, ada perlu
sebentar” aku berkata pada sosok cantik yang ada di samping Alby. Kehadiranku
membuat Alby terkejut. Bahkan, sepertinya dia sampai menahan nafas untuk tidak
terlihat kaget.
“Oh, iya.. nggak apa-apa mbak” kata cewek itu ramah. Begitu
manisnya cewek ini. Sepertinya aku memang harus mundur. Dia jauh lebih sempurna
dari aku. Dan pastinya, dia lebih dicintai Alby daripada aku. Aku kembali
menangisi keadaanku sekarang. Menyedihkan.
Aku bersikap tenang ketika berjalan
berjajaran dengan Alby. Sedangkan dia, berkali-kali terlihat menghela nafas.
Aku tahu, dia pasti gelisah sekali saat ini. Namun aku tidak tahu seberapa
besar rasa bersalahnya padaku. aku menggiringnya menuju tak jauh dari tempatnya
tadi. Tempat yang tak begitu banyak orang. Dan disitu, yang kulakukan hanya
menatapnya. Sesekali dia membalas tatapanku. Lalu, tak berani lagi kurasa.
“Maaf zil.. aku..” dia mulai mengatakan sesuatu, namun, tak sampai
dia selesai berkata, aku memotong kata-katanya.
“Tak perlu minta maaf, tak ada yang salah. Hanya keadaan yang slah.
Dan kamu juga tak perlu merasa bersalah atau apalah. Aku memang tersakiti
sekali dengan yang kamu lakukan di belakangku, tapi, kurasa ini memang resiko
menjalin hubungan. Dan aku menerima resiko ini. Aku tak akan balas dendam juga
sama kamu. Santai saja, toh, suatu saat kamu pun merasakannya juga. Sekarang,
kembali saja kamu ke tempatmu. Kita sudahi saja disini. Aku tak ingin lebih
tersakiti lagi” aku mencoba tuk tegar di depannya.
“Zil.. maafkan aku.. aku benar-benar minta maaf, aku bodoh! Bodoh
telah melukai kamu. Maafkan aku zil” dia mengatakannya dengan raut wajah
besalah.
Aku mengangguk dengan senyum yang
kupaksakan. Senyum getir “iya. Makasih buat semuanya” kata-kataku terakhir
sebelum aku membalikkan badan dan menghampiri Ufa. Perpisahan kali ini berbeda
sekali dengan perpisahanku kemarin-kemarin dengannya. Mungkin, ini perpisahan
terakhirku dengannya.
Masih dengan membawa luka, aku
mencoba tegar menghadapi penghianatan yang kutemui malam ini. Mungkin, ini
jalanku. Alur perjalanan hidupku untuk lebih baik. Ku bisikkan kata-kata itu
pada diriku sendiri.
“Hidup ini tak ubahnya sebuah buku. Setiap hari mempunyai satu atau
beberapa lembar halaman yang melukiskan petualangan untuk diceritakan.
Perjalanan fisik dan mental untuk dipelajari dan dikenang. Baik atau buruk,
lukisan itu milikmu, gambaran dirimu sendiri. Seburuk apapun menimpakan tinta
hitam diatas lukisan kehidupanmu, sama sekali tak menjernihkan masalah. Justru
kian menyuramkan. Dan, sungguh bukan hal yang mudah untuk memulai bab baru.”
Kutemukan kata-kata ini dalam sebuah buku karya Suminaring prasojo.
“Mulai hari ini, aku akan membuka bab baru tanpa Alby”
Sept
‘11th
0 komentar:
Posting Komentar