Ku resapi serpihan-serpihan rasa yang kini
membelengguku. Menorehkan segudang kekecewaan kala ku temui langkahnya. Andai
ia tau, aku terus menatap setiap jengkal bahasa tubuhnya. Menunggunya
melambaikan hatinya. Sungguh tak kuasa diriku tuk terus membisu. Menyimpan
segala asa, rasa, dan kata yang ingin kubisikkan pada satu hati yang terhimpit
di palung jiwaku. Hati yang tak pernah tahu apa yang tersirat di sudut asa ini.
Disini, aku terus menggamit rasa yang tak pernah tersampaikan. Menatap nanar setiap
liku-liku wajah kehidupan yang selalu mengibaskan rentetan khayalku. Tak cukupkah pengibaanku di setiap lirih desahku?
Masih haruskah kuurai air mata yang telah kering oleh perihnya ketakberdayaan?
Galau masih saja menikam setiap detik
lajur waktu yang ku punya. Menghadirkan tanya yang tak sempat terjawab oleh hembusan angin. Aku masih saja
membisu. Kurasa kebisuan panjang telah
bersemayam dalam ragaku yang telah rapuh ini. Dalam setiap kata yang terucap,
terlalu lelah tuk hadirkan senyuman. Dalam setiap canda yang mengalun, telah
lenyap tawa yang menggema. Tak tahukah ia, makna dari kebisuan panjangku ini?
Waktu masih berputar pada lorong-lorong
episode yang terus saja menggamit sekelumit tanya. Mengarungi setapak harap
demi harap. Harap yang tak pernah berubah dan tak bertuan. Namun, samakah yang
kini membenak dalam hatiku dengan yang tersirat dalam senyumnya? Sepertinya
tidak. Kutahu itu. Namun aku masih terus saja menapaki jengkal harapan ini.
Bodohkah aku? Sepertinya begitu. Namun, tak kurasakan kesia-siaan menelusup
dalam penantian ini.
Di waktu yang berbeda, namun jarum jam
masih melintasi putaran yang sama seperti waktu-waktu yang terlewat.
Pukul 06.00 WIB. Setelah kurasa siap dengan seragam abu-abu putih dan
berselempangkan ransel hitam, kusisipkan
do’a dan helaan nafas panjang pada pagiku. Semoga hariku indah, seperti pagiku
ini. Aku siap merangkai langkah menuju gerbang penentu masa depanku. Menapaki
sudut penggalan pengalaman hidup yang harus kulalui.
Tanpa menelan apapun pagi ini, selain
beberapa teguk air tuk menciptakan energi, kuulurkan tanganku menyalami tangan
kekar ayah. Mengulum senyum dan mengucap salam. Ayah membalas senyumanku lalu
membalas salamku. Senyumnya tak pernah luput dari makna. Dalam senyumnya,
tersirat harapannya yang ia gantungkan padaku. Memberiku sebuah keyakinan untuk
terus melangkah kedepan. Merajut mimpi-mimpi indah kecilku bersama ayah. Dalam
hati selalu kubisikkan, “aku sayang ayah, takkan kubiarkan senyum itu menghapus
raut bibirmu, ayah”
Ibuku telah menungguku dibawah. Ia akan
mengantarku menuju persimpangan jalan tempatku menghadang bus jalur 2 yang
selalu aku tumpangi setiap pulang maupun berangkat menuju sekolahku, sekalian
menuju tempatnya mengajar. Ya, dia mengajar di sebuah SMA di jogja. Namun, aku tak
memilih tuk memasuki sekolah tempat ibuku bekerja. Tak menarik.
Kurasa.
Sesampainya di persimpangan jalan Parangtritis,
aku turun dari sepeda motor lalu menyalami tangan ibuku seraya mengalunkan
salam, do’a keselamatan. Tak lupa senyum yang selalu kuukirkan pada di wajahku
kala aku bertatap muka padanya. Selanjutnya, aku menunggu bus datang, dan ibuku
melajukan motornya ke arah jalan menuju sekolahnya. Seraya menunggu, fikiranku
terus saja berputar entah kemana. Menerawang setiap apa yang ada dihadapanku.
Menerawang kedepan, seolah ia akan berjalan seperti yang kuharapkan. Namun aku
sadar, semua tak selalu seperti yang kita harapkan. Tak akan ada yang tahu, ia
akan beranjak kemana. Namun, aku terus saja menerawangnya kedepan, kearah yang
lebih baik dari kini, kurasa fikiran positif akan memberi kekuatan untuk meniti
harapanku.
Tak lama setelah kepergian ibu, bus jalur
2 tampak dari kejauhan. Segera aku melangkah ke tepi trotoar dan melambaikan
tangan sebagai isyarat keinginanku menaikinya. Bukan keinginan, namun keharusan
menaiki bus itu, jika tak ingin terlambat sampai di sekolah. Bus yang kunaiki
berjalan pelan. Dari satu tepian jalanan menuju tepian yang lain. Menurunkan
maupun mengangkut para konsumen jasa mereka. Jasa mereka sangat berarti. Tanpa
ada bus dan sopirnya, mana bisa aku sampai gerbang sekolahku yang jaraknya
cukup jauh itu? Dengan menaiki bus saja, sudah memakan waktu setengah jam,
bagaimana kalo harus berjalan atau bersepeda? Tak bisa kubayangkan. Mungkin aku
enggan bersekolah jika tak ada orang-orang berjasa seperti mereka. Sungguh,
sebenarnya mereka patut dihargai atas jasa-jasa yang mereka persembahkan kepada
kita. Namun, kebanyakan orang memandang mereka rendah. Memandang mereka
hanyalah seorang sopir bus angkutan kota. Anggapan yang sangat kejam.
Kududuki bangku yang masih kosong didalam
bus itu. Melepas tas lalu memeluknya dipangkuanku, layaknya boneka. Merapat
kesamping jendela bus untuk mengedarkan pandangan kearah jalanan yang cukup
padat dan menyaksikan mereka dengan kesibukannya masing-masing dari balik kaca
yang sedikit terbuka ini. Semilir angin menerpa wajahku. Udara basah pagi ini
membawa dingin yang tak seberapa dibandingkan dingin yang menusuk tulang kala
malam menyembul. Angin pagi masih terasa sejuk di kota semi metropolitan ini. Harus
kusyukuri, masih bisa merasakan hembusannya yang memberi ketenangan padaku di
setiap pagiku.
Roda bus menapaki jalanan penuh misteri.
Hingga sampailah pada persimpangan bundaran UGM. Aku berhenti disitu, turun di
lajur kiri lalu berbelok arah kiri, berjalan lurus 100 meter, menyeberang jalan
C. Simanjuntak dan sampailah pada tempat yang setiap pagi ku singgahi. Terkecuali
hari libur. MAN Yogyakarta 1. Memasuki gerbang bercat hijau tua lalu bertemu
pak Pras di depan pos satpam, kadang menyapa kadang diam saja. Itu semua sudah
menjadi rutinitas harian di setiap ku langkahkan kakiku menuju sekolah ini.
Selepas mengantri absen elektronik di
lantai bawah, bergegas kunaiki anak tangga satu persatu. Hingga puncak anak
tangga tergapai. Menemui dua persimpangan, kelasku tepat berada di belokan kiri
pintu pertama. Kelas X B. kita sering menyebutnya T.B.C “ten B crew” kelas yang
akan mengukir sejarah awal masa-masa baru aku menginjak SMA. Menyimpan segala
peristiwa yang tak selalu mampu lagi tuk diingat. Kuucap salam ceria khasku
ketika kakiku siap melangkah masuk.
Pandanganku spontan tertuju pada bangku di
sudut selatan itu. Benakku selalu diliputi tanya, “apa dia sudah ada disana?”.
Ya, dia selalu datang lebih awal dariku. Wajar saja, dia tinggal di asrama yang
masih satu yayasan dengan yayasan sekolah ini. Asrama itu pun letaknya tak
seberapa jauh dari sekolah. Hanya belakang sekolah saja. Tak sampai 5 menit pun dia bisa sampai
dikelas ini.
Ketika aku melirik ke arahnya, tatapannya
tak pernah berbeda. Selalu sama. Selalu seperti itu. Dan selalu tak memiliki
makna tersirat. Terbesit sekelumit kecewa. Namun, tak apalah. Tak begitu
kujadikan masalah.
L
Akhir-akhir ini aku merasa ada yang
berbeda dengannya. Aku dan dia tak sedekat dulu. Juga tak seakrab dulu. Mungkin
ini gara-gara aku yang beberapa hari terakhir ini berusaha menghindar darinya.
Bukan karena aku benci atau apapun. Kau tahu mengapa? Karena aku tak ingin
lebih terperosok pada lubang rasa yang tercipta dengan sendirinya semenjak aku
mengenalnya di awal masuk pelajaran. Ya, mungkin memang harus kuakui pada
diriku sendiri, bahwa aku tak bisa memungkiri ingin selalu bersamanya, tertawa
maupun sedih juga bersamanya. Namun, tak cukup bagiku jika hanya sekedar teman
biasa.
Aku tak mampu membendung rasa lebih lama,
namun aku pun tak kan sanggup mengatakannya. Tak bisa ku elakkan lagi. Aku
ingin memilikinya. Tapi kurasa itu tak mungkin. Aku telah bersamanya
(kekasihku), dan dia telah memilikinya (kekasihnya). Kurasa hanya satu jalan ini yang mampu
kutempuh. Menghindarinya dan menghalau hasrat tuk lebih dekat lagi dengannya.
Namun yang terjadi tak seperti yang ku
inginkan. Kurasa dia telah memiliki banyak teman yang lebih mampu mengisi
harinya dibandingkan diriku. Dia tak menyadari perubahanku, sedangkan dia
terlihat lebih nyaman-nyaman saja semenjak aku memutuskan tuk menghindar
darinya. Sungguh perih rasanya. Andai dia tahu, aku tersakiti karenanya. Namun,
apa peduli dia? Tak ada yang harus ia pedulikan. Karena sesungguhnya aku
sendiri yang menyakti diriku dengan menghadirkan perasaan yang tak sanggup
terbiaskan oleh kebisuan. Kurasa, tindakan bodohku ini hanya akan berujung pada
kekecewaan. Ya, aku tak tahu apa yang akan terjadi esok. Namun ku yakin, tak
ada akhir yang buruk. Semua akan baik2 saja. Hiburku pada diriku sendiri.
Kujalani hariku tanpa gairah tuk melahap
ilmu-ilmu yang kini disodorkan satu persatu guru yang memasuki kelasku. Moodku
tak ingin sedikitpun melirik apa yang ada di papan tulis maupun yang terlontar
dari ucapan guru-guru hari ini. Selalu begitu. Aku terlalu
tunduk pada mood yang selalu berubah-ubah tanpa melihat apa yang sedang terjadi
di sekitarku. Namun, aku tak berdaya untuk tak menggubris mood yang sedang
kacau seperti ini. Ragaku tak pernah mampu berdiri sendiri
tanpa ada jiwa yang menopang. Hingga akhirnya hari ini tak kudapati apa pun tuk
bisa kubawa menuju gang-gang kecil tak berujung yang membelit-belit di otakku. Tanpa gairah, tanpa senyuman darinya
bahkan tanpa sapaan lewat via sms darinya yang memintaku agar tak segera
pulang. Bukan hari yang indah.
Aku teringat suatu hari.
Saat kulihat satu tatapan yang berbeda dari sorotan matanya. Tepatnya hari
Jum’at setelah latihan pramuka rutin dihari pertama. Usai latihan,
seperti biasa, semua anggota pramuka berkumpul untuk evaluasi. Selepas itu aku
bergegas pulang. Kuambil ransel hitamku yang kuletakkan didalam sanggar
pramuka. Lalu tak lama setelah ransel melekat di punggungku, kulangkahkan kaki
keluar dari gerbang. Sempat aku menoleh padanya. Dan dia pun sedang melihatku
dari sana. Kualihkan pandanganku dengan cepat. Kurasa, tatapanya
berbeda. Entah apa yang tersirat dari sorotan mata itu. Namun, aku mampu
merasakan yang janggal dari tatapannya.
Tak lama setelah aku melangkah dari
gerbang, ia mengirimiku sebuah pesan “langsung
pulang?”
Ku jawab “iya. Kenapa? Masih ingin bertemu denganku?” aku mengirimnya
disertai tawa panjang.
“iya.hahahahaha”
jawabnya
Dia berkata iya? Aku melayang tinggi bak
setinggi angkasa luas jagat raya ini. hanya dengan kata ‘iya’, hatiku merasa
tergelitik dan ingin rasanya terus tersenyum di perjalanan pulangku. Namun aku
tak ingin disangka gila, kuhentikan senyumku. Tapi hatiku tak bisa berhenti
tersenyum.
Kutegaskan lagi pada diriku
sendiri, itu kemarin. Kemarin sebelum aku menghindar darinya. Kemarin sebelum ia
menjadi seperti sekarang. Sedang sekarang, yang tampak hanya tatapan-tatapan
datar saja. Ya sudahlah, ini jalan yang
kuambil, aku harus menerima apapun yang terjadi karena ini pilihanku.
Sekarang. Detik ini dan detik-detik yang
akan terlewati nantinya, aku tak tahu langkah apa yang harus kutapaki. Namun aku
terus berbisik pada hatiku, ‘semua akan baik-baik saja.’ Jika Tuhan
menginginkanku bersamanya, Dia akan mempertemukanku dengannya dan dengan cara
yang lebih indah dari pertemuan awalku. Aku yakin itu.
Jogja, September ‘11st
1 komentar:
cie . .
Posting Komentar